(Keniscayaan Mencinta) - Aku dan Keakuan
Siang nan menyenangakan, aku duduk merenung melihat semua keadaan yang mengeejawantah setiap kemanusiaan bak keraguan pada semua kepura-puraan, tersaji semua kegundahan tentang mencintai yang terselimuti dengan sebuah keambiguan.
Mencintainya sama halnya menanggalkan mecintai diri sendiri, dan aku mulai Tersadar kalau mencintainya adalah sebagai wujud dari membenci diri, bukankah menanggalkan kecintaan atas diri adalah hal yang paling dicintai olehnya. Proses mencintai yang kian menjauhkan keakuan adalah hal yang paling disenanginya.
Suatu ketika aku mencoba memulai dialog dengannya dengan rasa penuh kehati-hatian, hati-hati dalam kepura-puraan juga hati-hati dalam ritme intonasi sebuah pertanyaan. Aku bertanya “widyadharaku, menurutmu mencintai seseorang tanpa mencintai diri sendiri itu wajar ndak?”. Dia menjawab dengan lantang tanpa elegi “Wajar!!!”. Seketika aku diam dan ditemani dengan kegamangan semesta.
Aku memulai menanggalkan semua yang menjadi kecintaan atas diri, agar aku dapat di cintainya.
Menanggalkan aku dan keakuanku untuk dicintainya.
Sejatinya mencintai seseorang adalah upaya untuk menyayat diri pada keniscayaan mencinta.
Perspektif tentang menanggalkan kecintaan terhadap diri adalah cinta yang berlebihan. Mempunyai kecintaan atas diri adalah hal yang sangat wajar, dari mulai kita memahami tentang pribadi yang baik dan bajik, memahami tentang kepercayaan diri yang dimiliki, memahami tentang konsep syukur terhadap diri sendiri dan memahi tentang konsep aktivitas dan produktifitas yang bermanfaat pada orang yang dicintainya. So, mari kita menerima diri sendiri tanpa sebuah kepura-puraan mencinta, serta jangan menuntut hal yang berlebihan pada diri, dan jangan sesekali menyayat hati karena bergantung pada orang lain.
Komentar
Posting Komentar