Makalah dasar-dasar akidah ASWAJA
Dasar-dasar Akidah
Ahlussunah Wal-Jamaah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ahlussunnah Wal-Jamaah.
Ahlussunah Wal-Jamaah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ahlussunnah Wal-Jamaah.
Dosen Pengampuh :
Limmatus Sauda, M.Hum.
Oleh :
Ahmad Nurulloh
Ha Run
Ikramullah Nur Al-Makassari
Jaya Roza Azzukhrufi
Limmatus Sauda, M.Hum.
Oleh :
Ahmad Nurulloh
Ha Run
Ikramullah Nur Al-Makassari
Jaya Roza Azzukhrufi
PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT PESANTREN KH. ABDUL CHALIM
Desa Bendungan Jati, Pacet, Mojokerto
Semester II
2016
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Hal ini merupakan salah satu bukti tentang keluasan dan keluwesan isi kandungan al-Qur’an tersebut. Informasi yang diberikan itu merupakan dasar-dasarnya saja, dan manusia lah yang akan menganalisis dan merincinya, membuat keautentikan teks al-Qur’an menjadi lebih tampak bila berhadapan dengan konteks persoalan-persoalan kemanusiaan dan kehidupan modern.
Dalam kaitannya antara nisbat As-sunnah terhadap Al-Quran, para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Quran dan juga sebagai penguat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Quran apabila As-Sunnah itu tidak sejalan dengan zhahir ayat Al-Quran.
Para ulama menetapkan bahwa Ijma menduduki peringkat ketiga setelah al-Quran dan Hadis Nabi. Namun demikian suatu ijma tidak boleh menyalahi Nash al-Quran dan Hadis yang bersifat qath’I (nash yang sudah jelas, gamblang dan tidak membutuhkan penafsiran).
Seluruh ulama sepakat bahwa “Ijma’ shorih” dapat dijadikan sebagai hujjah / dasar pijakan hukum. Namun demikian mereka berbeda pendapat mengenahi “ijma’ sukuti”.
Pengertian qiyas apabila dalam suatu kasus tidak ditemukan hukumnya berdasarkan nash (al-Quran dan Sunnah) dan Ijma’dan di peroleh ketetapan bahwa kasus itu menyamai suatu kejadian yang ada nash hukumnya dari segi illat hukum itu, maka kasusu itu di qiyaskan denga kasus tersebut dan ia diberi hukum dengan hukumannya, dan hukum ini merupakan hukumnya menurut syara’.
Rumusan Masalah
Apa Dasar-dasar Akidah Aswaja?
Apa hubungan syara’ dengan al-Qur’an?
Tujuan Penulisan
Dapat mengetahui Dasar-dasar hukum Aswaja
Dapat mengetahui hubungan Syara’ dengan Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
- DASAR DASAR AKIDAH ASWAJA
واهل النظر في هذا العلم يتمسكون اولا بايات الله تعلى من القران، ثمّ بآ خبار الرّسول صلى الله عليه وسلم، ثمّ با لدّ لاءل العقليّة والبراهين القيا سيّة.
Ahli nazar (nalar) dalam ilmu akidah ini pertama kali berpegangan dengan ayat-ayat al-qur’an, kemudian dengan hadits-hadits Rasulullah Saw, terakhir dengan dalil-dalil rasional dan argumentasi- argumentasi analogis
Berikut ini rincian dalil-dalil tersebut secara hirarkis:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an al-Karim pokok dari semua argumentasi dan dalil. Al-qur’an adalah dalil yang membuktikan kebenaran nabi Muhammad, dalil yang membuktikan benar atau tidaknya suatu ajaran. Al-qur’an juga merupakan kitab Allah terakhir yang menegaskan pesan-pesan kitab-kitab samawi sebelumnya. Allah memerintahkan dalam al-qur’an agar kaum muslimin senantiasa mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya:
فَإِنْ تَنَــٰزَ عْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرَدُّوهُ إِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu l, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( al qur'an ) dan Rasul ( sunnah Nya ). ( QS. An Nisa' : 59 )
2. Hadits
Hadis adalah dasar kedua dalam penetapan akidah-akidah dalam islam. Tetapi tidak semua hadits dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah. Hadits ya g dapat dijadikan dasra dalam menetapkan akidah adalah hadits yang perawinya disepakati dapat dipercaya oleh para ulama. Sedangkan hadits yang perawinya masih diperselisihkan oleh para ulama, tidak dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah sebagaimana kesepakatan para ulama ahli hadits dan fuqaha yang menyucikan Allah dari menyerupai mahkluk. Menurut mereka, dalam menetapkan akidah tidak cukup didasarkan pada hadits yang diriwayatkan melalui jalur dha’if, meskipun diperkuat dengan perawi yang lain. Dalam konteks ini al-Hafish Ibn Hajar mengatakan dalam Fath Al-Bari.
لَفْظُ الصَّوْتِ مِمَّا يُتَوَقَّفُ فِيْ إِطْلاَقِ نِسْبَتِهِ إِلَى الرَّ بِّ وَيَحْتَاجُ إِلَى تَأْوِيْلٍ، فَلاَ يَكْفِيْ فِيْهِ مَجِيْءُ الْحَدِيْثِ مِنْ طَرِيْقٍ مُخْتَلِفٍ فِيْهَا وَلَواعْتُضِدَتْ اهـ
Kata "suara" yang terdapat dalam redaksi hadits, tidak dapat dinisbatkan kepada tuhan, dan butuh untuk dita'wil. Jadi dalam masalah akidah ini cukup didasarkan pada hadits yang datang dari jalur yang diperselisihkan, meskipun d perkuat oleh jalur yang lain.
Maksud pernyataan al-Hafish Ibn Hajar tersebut adalah, kata suara yang terdapat dalam sebagian riwayat hadits, tidak dapat dinisbatkan kepada Tuhan, dalam artian kalam Allah itu berupa suara dan huruf, karena hal ini menyangkut persoalan akidah yang tidak cukup didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang masih diperdebatkan oleh para ulama, meskipun telah diperkuat oleh jalur yang lain.
Al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi mengatakan dalam kitabnya al-Faqih wa al-Mutafaqqih:
لاَ تَثْبُتُ الصِّفَةُ لِلّهِ بِقَوْلِ صَحَابِيٍّ إِلاَّ بِمَا صَحَّ مِنَ الْأَ حَادِيْثِ النَّبِوِيَّةِ الْمَرْ فُوْعَةِ الْمُتَّفَقِ عَلَى تَوْثِيْقِ رَوَا تِهاَ، فَلاَ يُحْتَجُّ بِالضَّعِيْفِ وَلاَ بِالْمُخْتَلَفِ فِيْ تَوْثِيْقِ رُوَاتِهِ حَتَّى لَوْ وَرَدَ إِ سْناَ دٌ فِيْهِ مُخْتَلِفٌ فِيْهِ وَجَاءَ حَدِيْثٌ آخَرُ يَعْضِدُهُ فَلاَ يُحْتَجُّ بِهِ
Sifat Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan pendapat seorang sahabat atau tabi'in. Sifat Allah hanya dapat ditetapkan berdasarkan hadits - hadits Nabi yang marfu', yang perawinya disepakati dapat dipercaya. Jadi hadits dha'if dan perawinya diperselisihkan tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah ini,sehingga apabila ada sanad yang diperselisihkan, lalu ada hadits yang mengkuatkannya, maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.
Al-Hafizh al-Baihaqi juga mengutip dalam kitabnya al-Asma’ wa al-Shifat dari al-Hafizh Abu Sulaiman al-Khaththabi, bahwa sifat Allah itu tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan nash al-Qur’an atau hadits yang dipastikan keshahihannya.
Hadits yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah adalah hadis Mutawatir, yaitu hadis yang mencapai peringkat tertinggi dalam keshahihan . hadis Mutawattir adalah hadits hadis yang disampaikan oleh sekelompok orang yang banyak dan berdasarkan penyaksian mereka serta sampai kepada penerima hadits tersebut, baik penerima kedua maupun ketiga, memlalui jalur kelompok yang banyak pula. Hadits yang semacam ini tidak memberikan peluang terjadinya kebohongan.
Dibawah hadits Mutawatir, ada hadits mustafidh atau hadits masyhur, dan ada lagi hadits yang dibawahnya masyhur. Hadits mustafid atau masyhur dapat diajadiakn argumentasidalam menetapkan akidah karena dapat menghasilkan keyakinan sebagaimana halnya hadits mutawatir. Hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari generasi pertama hingga generasi selanjutnya. Al-Imam Abu Hanifah dan pengikutnya menetapkan syarat bagi hadits yang dapat dijadikan argumentasi dalam hal-hal akidah harus berupa hadits masyhur. Dalam risalah-risalah yang ditulisnya dalam hal-hal akidah, Abu Hanifah membuat hujjah dengan sekitar empat puluh hadits yang tergolong hadis masyhur. Risalah-rislah tersebut dihimpun oleh al-Imam Kamaluddin al-Bayadhi al-Hanafi dalam kitabnya, Isyarat al-Maram min ‘Ibarat al-Imam. Sedangkan hadits-hadits yang peringkatnya dibawah hadits masyhur, maka tidak dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan sifat Allah.
3. Ijma’ Ulama
Ijma’ menurut ulama ushul fiqih adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah.atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Ijma’ Ulama yang mengikuti ajaran Ahlul Haqq dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan akidah. Dalam hal ini seperti dasar yang melandasi penetapan bahwa sifat-sifat Allah itu qadim (tidak ada permulaanya) adalah ijma’ ulama qath’i. Dalam konteks ini, al-Imam al-Subki berkata dalam kitabnya Syarh ‘Aqidah Ibn al-Hajib:
اِعْلَمْ أَنَّ حُكْمَ الْجَوَاهِرِ الْأَعْرَاضِ كُلِّهاَ الْحُدُوْثُ فَإِذًا الْعَالَمُ كُلُّهُ حاَدِثٌ، وَعَلَى هَذَا إِجْماَعُ الْمُسْلِمِينَ بَلْ كُلِّ الْمِلَلِ وَمَنْ خَالَفَ فِيْ هَذَا فَهُوَ كَافِرٌ لِمُخَا لَفَتِهِ الْإِجْمَا عَ الْقَطْعِيَّ اهـ
Ketahuilah sesungguhnya hukum jauhar dan 'aradh ( aksiden ) adalah baru. Oleh karena itu, semua unsur-unsur alam adalah baru. Hal ini telah menjadi ijma' kaum muslimin, bahkan ijma' seluruh penganut agama-agama (diluar islam). Barangsiapa yang menyalahi kesepakatan ini, maka dia dinyatakan kafir, karena telah menyalahi ijma' yang qath'i.
Macam-macam Ijma:
1. Ijma’ Sharih
Artinya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya.
2. Ijma’ Sukuti
Artinya, pendapat sebagian ulama tentang suatu maslah yang diketahui oleh para mujahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti sah apabila dikatakan memenuhi beberapa kriteria
4. Akal
Dalam ayat-ayat al-Qur’an Allah Swt. Telah mendorong hamba-hamba-Nya agar merenungkan semua yang ada di alam jagad raya ini, agar dapat mengantar pada keyakinan tentang kemahakuasaan Allah. Dalam konteks ini Allah berfirman :
أَوَلَمْ يَنْظُرُواْ فِى مَلَكُوتِ السّمَـٰوَ ٰتِ والْأَرْض.ِ
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi (QS. Al a'raf : 185).
Allah Swt. juga berfirman:
سَنُرِيْهِمْ ءَايَـٰتِنَا فِى والْأَفاقِ وَفِىٓ أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُم أَنَّهُ الْحَقُّ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda tanda(kekuasaan) kami disegala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelasbagi mereka bahwa al Qur'an itu benar. (QS. Fushshilat : 53).
Dalam membicarakan sifat-sifat Allah, sifat-sifat Nabi, Sifat-sifat Malaikat dan lain-lain, para ulama tauhid hanya bersandar pada penalaran akal semata. Mereka membicarakan hal tersebut dalam konteks membuktikan kebenaran semua yang disampaikan oleh Nabi dengan akal. Jadi, menurut ulama tauhid, akal difungsikan sebagai sarana yang dapat membuktikan kebenaran syara’, bukan sebagai dasar dalam menetapkan akidah-akidah dalam agama. Meski demikian, hasil penalaran akal yang sehat tidak akan keluar dan bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh syara’.
Hubungan Syara’ dengan Akal
Syara’ adalah peraturan Allah yang berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan tentang tingkah laku manusia yang berlaku dan bersifat mengikat bagi seluruh umat islam. Diantara problem yang cukup serius dalam sejarah pemikiran islam adalah problematika seputar hubungan syara’ dengan akal. Problem ini telah menyita perhatian dan perdebatan panjang para pakar teologi dan filsafat dengan upaya menawarkan sekian banyak solusi. Bahkan problem tersebut tidak hanya menyita perhatian kalangan intelektual Muslim saja. Ternyata juga cukup menyita kalangan intelektual Yahudi dan Kristen pada abad pertengahan di Eropa.
Dikalangan kaum teolog Muslim, yang berupaya mengkaji akidah-akidah Islam, ada tiga aliran yang berbeda dalam menyikapi seputar hubungan syara’ dengan akal.
Pertama, aliran Mu’tazilah yang berpandangan bahwa akal didahulukan dari pada syara’.
Kedua, aliran Hasyawiyah, Zhahiriyah dan semacamnya yang hanya mengakui dominasi syara’, dan tidak memberikan peran terhadap akal berkaitan dengan ajaran-ajaran yang dibawa oleh syara’. Aliran ini cenderung mengikuti makna-makna liberal teks-teks al-Qur’an dan Sunnah tanpa memberikan peran terhadap nalar untuk memberikan pertimbangan.
Tentu saja, pandangan aliran kedua yang memmerankan orientasi anti rasional tersebut jauh dari ruh ajaran Islam, karena seperti dikatakan oleh al-Imam Abu al-Fath al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal, ajaran islam bahkan semua syariat apapun, tidak akan tertib dan disiplin tanpa dibarengi dengan ijtihad. Kebutuhn akan adanya ijtihad sebagai metode yang diakui dalam menetapkan hukum-hukum agama, menjadi mendesak ketika sebuah syari’at tersebar luas didunia. Dan kita seringkali melakukan ijtihad dan menggunakan metode analogi dalam banyak persoalan hukum yang dihadapi. Demikian kata al-Syahrastani.
Ketiga, aliran ahlussunnah Wal-Jamaah yang memiliki pandangan yang khas terkait dengan problem hubungan syara’ dengan akal. Dalam hal ini ahlussunnah Wal-Jamaah mengambil sikap moderat(tawassuth) dan seimbang tawazun), tidak ekstrim kiri seperti halnya Mu’tazilah dan tidak ekstrim kanan seperti halnya Hasyawiyah dan Zhahiriyah. Menurut ahlussunnah Wal-Jamaah, semua kewajiban agama hanya dapatdiketahui melalui informasi dari Syara’. Sedangkan terkait dengan keyakinan hanyandapat dicapai dengan penalaran akal.ahlussunnah Wal-Jamaah mengambil sikap tengan dan moderat antara Haswiyah dan Mu’tazilah, tidak melepaskan peran akal dari syara’ sebagaimana halnya Hasyawiyah dan tidak mndahuluan akal dan dari pada syara’ sebagaimana halnya Mu’tazilah. Dalam konteks ini al-Ghazali berkata dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad:
Kaum hasyawiyah berasumsi bahwa wajibnya beku terhadap taklid dan mengikuti makna-makna literal, dan hal itu bersumber dari nalar mereka yang lemah dan wawasan mereka yang sedikit. Sedangkan kaum filosof dan kelompok Mu’tazilah yang ekstrim, berlebih-lebuhan dalam menggunakan akal sehingga berlawanan dengan dalil-dalil syara’ yang definitif (qath’i) dan hal itu bersumber dari hati mereka yang buruk. Kelompok pertama cenderung ekstrim, sedangkan kelompok kedua cenderung sembrono. Keduanya jauh dari sikap bijaksana dan berhati-hati. Judtru yang menjad kewajiban dan keharusan dalam kaidah-kaidah keyakinan adalah sikap moderat dan mengikuti jalan yang lurus. Orang yang merasa puas hanya dengan bertaklid kepada teks-teks hadits, namun mengingkari metodologi penelitian dan nalar tidak mungkin menemukan jalan kebenaran, karena syara’ itu bersandar terhadap sabda Nabi, sedangkan argumentasi rasional adalah satu-satunya sarana yang dapat membuktikan kebenaran yang disampaikan Nabi. Sedangkan orang yang hanya mengikuti akal dan tidak mengikuti petunjuk cahaya syara’, juga tidak mungkin memperoleh petunjuk menuju kebenaran, karena dia hanya berpegangan pada akal, yang diliputi kelemahan dan keterbatasan.
Pernyataan al-Ghazali tersebut bermaksud memaparkan tentang keharusan menggunakan akal dalam menangkap hakikat-hakikat yang dikandung oleh dalil-dalil syara’. Dengan demikian ahlussunnah Wal-Jamaah menggabungkan antara naql dan akal. Gabungan dari keduanya dapat mengantar pada hakikat yang dikandung oleh dalil-dalil syara’.
Terkait dengan metodologi Ahlussunnah Wal-Jamaah yang menggam-barkan antara naql dengan akal tersebut, para ulama memberikan perumpamaan begini. Akal diumpamakan dengan mata yang dapat melihat. Sedangkan dalil-dalil syara’ atau naql diumpamakan dengan Matahari yang dpat menerangi. Orang hanya menggunakan akal tanpa menggunakan dalil-dalil syara’ seperti halnya orang yang keluar pada waktu malam hari yang gelap gulita. Ia membuka matanya untuk melihat apa yang ada disekelilingnya, antara benda yang berwarna putih, hitam, hijau dan lain-lain. Ia berusaha untuk melihat semuanya. Tetapi selamanya ia tidak akan dapat melihatnya, tandpa ada matahari yang meneranginya, meskipun ia memmiliki mata yang mampu melihat. Sedangkan orang yang menggunakan dalil-dalil syara’ tanpa menggunakan akal, seperti halnya orang yang keluar disiang hari dengan suasana terang benderang, tetapi dia tunanetra atau memejamkan matanya. Tentu saja ia tidak akan dapat melihat mana benda yang berwarna putih, hijau, merah dan lain-lainnya. Ahlussunnah Wal-Jamaah laksana orang dapat melihat dan keluar disiang hari yang terang benderang, sehingga semuanya nampak kelihatan dengan nyata, dan akan selamat dalam berjalan mencapai tujuan.
Syara’ adalah peraturan Allah yang berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan tentang tingkah laku manusia yang berlaku dan bersifat mengikat bagi seluruh umat islam. Diantara problem yang cukup serius dalam sejarah pemikiran islam adalah problematika seputar hubungan syara’ dengan akal. Problem ini telah menyita perhatian dan perdebatan panjang para pakar teologi dan filsafat dengan upaya menawarkan sekian banyak solusi. Bahkan problem tersebut tidak hanya menyita perhatian kalangan intelektual Muslim saja. Ternyata juga cukup menyita kalangan intelektual Yahudi dan Kristen pada abad pertengahan di Eropa.
Dikalangan kaum teolog Muslim, yang berupaya mengkaji akidah-akidah Islam, ada tiga aliran yang berbeda dalam menyikapi seputar hubungan syara’ dengan akal.
Pertama, aliran Mu’tazilah yang berpandangan bahwa akal didahulukan dari pada syara’.
Kedua, aliran Hasyawiyah, Zhahiriyah dan semacamnya yang hanya mengakui dominasi syara’, dan tidak memberikan peran terhadap akal berkaitan dengan ajaran-ajaran yang dibawa oleh syara’. Aliran ini cenderung mengikuti makna-makna liberal teks-teks al-Qur’an dan Sunnah tanpa memberikan peran terhadap nalar untuk memberikan pertimbangan.
Tentu saja, pandangan aliran kedua yang memmerankan orientasi anti rasional tersebut jauh dari ruh ajaran Islam, karena seperti dikatakan oleh al-Imam Abu al-Fath al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal, ajaran islam bahkan semua syariat apapun, tidak akan tertib dan disiplin tanpa dibarengi dengan ijtihad. Kebutuhn akan adanya ijtihad sebagai metode yang diakui dalam menetapkan hukum-hukum agama, menjadi mendesak ketika sebuah syari’at tersebar luas didunia. Dan kita seringkali melakukan ijtihad dan menggunakan metode analogi dalam banyak persoalan hukum yang dihadapi. Demikian kata al-Syahrastani.
Ketiga, aliran ahlussunnah Wal-Jamaah yang memiliki pandangan yang khas terkait dengan problem hubungan syara’ dengan akal. Dalam hal ini ahlussunnah Wal-Jamaah mengambil sikap moderat(tawassuth) dan seimbang tawazun), tidak ekstrim kiri seperti halnya Mu’tazilah dan tidak ekstrim kanan seperti halnya Hasyawiyah dan Zhahiriyah. Menurut ahlussunnah Wal-Jamaah, semua kewajiban agama hanya dapatdiketahui melalui informasi dari Syara’. Sedangkan terkait dengan keyakinan hanyandapat dicapai dengan penalaran akal.ahlussunnah Wal-Jamaah mengambil sikap tengan dan moderat antara Haswiyah dan Mu’tazilah, tidak melepaskan peran akal dari syara’ sebagaimana halnya Hasyawiyah dan tidak mndahuluan akal dan dari pada syara’ sebagaimana halnya Mu’tazilah. Dalam konteks ini al-Ghazali berkata dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad:
Kaum hasyawiyah berasumsi bahwa wajibnya beku terhadap taklid dan mengikuti makna-makna literal, dan hal itu bersumber dari nalar mereka yang lemah dan wawasan mereka yang sedikit. Sedangkan kaum filosof dan kelompok Mu’tazilah yang ekstrim, berlebih-lebuhan dalam menggunakan akal sehingga berlawanan dengan dalil-dalil syara’ yang definitif (qath’i) dan hal itu bersumber dari hati mereka yang buruk. Kelompok pertama cenderung ekstrim, sedangkan kelompok kedua cenderung sembrono. Keduanya jauh dari sikap bijaksana dan berhati-hati. Judtru yang menjad kewajiban dan keharusan dalam kaidah-kaidah keyakinan adalah sikap moderat dan mengikuti jalan yang lurus. Orang yang merasa puas hanya dengan bertaklid kepada teks-teks hadits, namun mengingkari metodologi penelitian dan nalar tidak mungkin menemukan jalan kebenaran, karena syara’ itu bersandar terhadap sabda Nabi, sedangkan argumentasi rasional adalah satu-satunya sarana yang dapat membuktikan kebenaran yang disampaikan Nabi. Sedangkan orang yang hanya mengikuti akal dan tidak mengikuti petunjuk cahaya syara’, juga tidak mungkin memperoleh petunjuk menuju kebenaran, karena dia hanya berpegangan pada akal, yang diliputi kelemahan dan keterbatasan.
Pernyataan al-Ghazali tersebut bermaksud memaparkan tentang keharusan menggunakan akal dalam menangkap hakikat-hakikat yang dikandung oleh dalil-dalil syara’. Dengan demikian ahlussunnah Wal-Jamaah menggabungkan antara naql dan akal. Gabungan dari keduanya dapat mengantar pada hakikat yang dikandung oleh dalil-dalil syara’.
Terkait dengan metodologi Ahlussunnah Wal-Jamaah yang menggam-barkan antara naql dengan akal tersebut, para ulama memberikan perumpamaan begini. Akal diumpamakan dengan mata yang dapat melihat. Sedangkan dalil-dalil syara’ atau naql diumpamakan dengan Matahari yang dpat menerangi. Orang hanya menggunakan akal tanpa menggunakan dalil-dalil syara’ seperti halnya orang yang keluar pada waktu malam hari yang gelap gulita. Ia membuka matanya untuk melihat apa yang ada disekelilingnya, antara benda yang berwarna putih, hitam, hijau dan lain-lain. Ia berusaha untuk melihat semuanya. Tetapi selamanya ia tidak akan dapat melihatnya, tandpa ada matahari yang meneranginya, meskipun ia memmiliki mata yang mampu melihat. Sedangkan orang yang menggunakan dalil-dalil syara’ tanpa menggunakan akal, seperti halnya orang yang keluar disiang hari dengan suasana terang benderang, tetapi dia tunanetra atau memejamkan matanya. Tentu saja ia tidak akan dapat melihat mana benda yang berwarna putih, hijau, merah dan lain-lainnya. Ahlussunnah Wal-Jamaah laksana orang dapat melihat dan keluar disiang hari yang terang benderang, sehingga semuanya nampak kelihatan dengan nyata, dan akan selamat dalam berjalan mencapai tujuan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum Islam merupakan hukum ke-Tuhanan. Ini merupakan dalil pokok dan merupakan jalan untuk mengetahui hukum-hukum ini. Maka Al-Quran, yakni firman Allah adalah merupakan jalan pertama untuk mengetahui hukum-hukum-Nya. Alasan bahwa Al-Quran adalah hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya adalah undang-undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan langsung dari Allah dan diterima oleh manusia dari Allah dengan cara yang pasti, tidak diragukan lagi kebenarannya.
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnya, yang tidak ada pada qiraahnya mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap Al-Quran yang didengar dari Nabi SAW.
Hal ini disebabkan bahwa sumber hukum yang merupakan objek bahasan ushul fiqih yang diyakini dari Allah SWT, berbentuk Al-Quran dan As-Sunnah.setelah itu ijma’ dan qiyas sebagai penguat sumber hukum islam. Sebagaimana telah kita ketahui yang dimaksud ijma menurut syara’ itu antara lain adanya kesepakatan dari semua mujtahid yang hidup dalam satu masa tentang ketetapan hukum syara’. Para ulama yang menetapakan kekuatan qiyas sebagai hujjah dengan mengambil dalil al-Quran.
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum Islam merupakan hukum ke-Tuhanan. Ini merupakan dalil pokok dan merupakan jalan untuk mengetahui hukum-hukum ini. Maka Al-Quran, yakni firman Allah adalah merupakan jalan pertama untuk mengetahui hukum-hukum-Nya. Alasan bahwa Al-Quran adalah hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya adalah undang-undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan langsung dari Allah dan diterima oleh manusia dari Allah dengan cara yang pasti, tidak diragukan lagi kebenarannya.
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnya, yang tidak ada pada qiraahnya mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap Al-Quran yang didengar dari Nabi SAW.
Hal ini disebabkan bahwa sumber hukum yang merupakan objek bahasan ushul fiqih yang diyakini dari Allah SWT, berbentuk Al-Quran dan As-Sunnah.setelah itu ijma’ dan qiyas sebagai penguat sumber hukum islam. Sebagaimana telah kita ketahui yang dimaksud ijma menurut syara’ itu antara lain adanya kesepakatan dari semua mujtahid yang hidup dalam satu masa tentang ketetapan hukum syara’. Para ulama yang menetapakan kekuatan qiyas sebagai hujjah dengan mengambil dalil al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Risalah Ahlussunah Wal-Jamaah, Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, KhalistaMr. Google: Blog. Abdul Latif | Update: 12/03/2016.10.00 | Series: Makalah. Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma, Qiyas.
Komentar
Posting Komentar