(Keniscayaan Mencinta) - Elegi Exposure Hati
Aku lagi lagi merasa kehilangan pijaran bintang indah dan pelangi dengan warna-warni di wajahmu, aku semakin menjauh dari jeratan mu yang lekat layaknya lebah yang menghisap kuntum bunga, yang biasanya berbuah madu, ini hanya berbuah beberapa tetesan empedu. Yang biasanya aku bilang perihal hati, saat ini hanya sebuah empati.
Aku tak mampu menangkap dan merepresentasikan cahaya indah wajahmu. Gelap, tidak ada sinar yang menyelinap dalam sisi wajah, hanya warna hitam yang terhegemoni dari tinta keniscayaan yang bersatu setelah terlepas dari sajak dan untaian kata yang kuabadikan untukmu. sensivitas hati pun aku belum mencapai taraf pemerhati.
Ketika aku menerapkan sebuah kedinamisan penaruhan hati untukmu (0), yang dihasilkan adalah tanpa adanya kepura-puraan dan kenyamanan, dan akan ku hukum hati ini dengan api sekalipun, jika terjadi penghianatan. Lalu apa yang terjadi, segala yang aku angankan mampu membuat ia mendambaku tetapi hanya mampu membuat hatiku semakin terbujur kaku.
Ketika aku menerapkan sebuah kerendahan dan kepalingan hati kepadanya (-), yang dihasilkan adalah kepaksaan dan kedendaman. Gelap, yang membuat keangkuhan hati dan matinya hati, aku mengukutuknya dengan kesadaran amygdalaku. Lalu apa yang terjadi, kerinduannya kepadaku terkikis sedikit demi sedikit dari setiap tangisan kehilangan diriku.
Ketika aku menerapkan sebuah atensi penuh untuknya (+), dia terlihat sangat angkuh dengan sejuta larik egosentrisnya, dan aku ndak mampu untuk membendungnya karena keangkuhannya layaknya dalam perspektif fotografi yaitu "blown out" atau "wash out".
Pada dasarnya kecintaan seseorang jangan sampai menghilangkan esensi, apalagi sampai mematikan hati. Tetap pada kesadaran dinamis, yang mana bisa mengidentifikasi dan memahami diri secara utuh, baik dari sifat, karakter, emosi, perasaan, pikiran dan cara adaptasi dengan lingkungan.
Komentar
Posting Komentar