Naskah Dramatical Reading Lorong Literasi IKHAC
‘’MABA dan Keponya’’
By: Mr. Pinus
September, di Kota Samon.
Saya adalah seorang perantau. Dan kota Samon, adalah tanah orang-orang hebat dan beradab, begitu saya dengar dari penuturan orang-orang sejak sebulan yang lalu. Tak jauh dari pusat kota itu, saya menyewa kos milik pak Danto. Iya. Dan karena saya masih terbilang baru di kota itu, setiap malam setelah shalat isya, saya menyempatkan diri keluar hanya sekedar untuk berjalan-jalan, atau sekedar mengamati lingkungan sekitar.
Keesokan harinya, tepatnya pada pukul dua siang, kota samon terbakar. Dalam kamar kos yang sempit itu, saya mengipas-ngipaskan tangan ke wajah karena kegerahan. Dari jendela kamar kos yang sepenuhnya terbuka, saya menongolkan kepala keluar, berharap angin sejuk menghampiri. Dari sana, terlihat tubuh matahari tampak menggelantung di pucuk langit, panasnya terasa menusuk, menyengat seperti lebah, menjilat-jilat bak lidah api. Karena merasa kepanasan, saya pun buru-buru membasuh diri ke kamar mandi. Sejurus kemudian. Setelah mandi dan sedikit berdandan, saya bergegas menuruni empat anak tangga lantas berjalan sedikit ke arah timur, sampai kemudian saya tiba di tepi jalan dekat taman kota. Panas memang, sampai saya harus memicingkan mata karena silau.
Tak ingin berlama-lama di sana, saya pun kemudian bergegas pergi, berjalan dari arah toko bunga milik Nona Lusy menuju kampus. Dengan posisi kepala yang masih meruntunduk, saya terus mengayunkan langkah-langkah cepat sambil memperhatikan langkah kaki yang tampak susul-menyusul. Tak lama kemudian, saya berhenti, lalu melengos ke kanan, tampak sebuah gerbang dengan pilar besar nan kokoh di sisi kiri dan kanannya, di atasnya terdapat susunan huruf bertuliskan ‘’University Of Avesena’’.
Dari tepi jalan itu, saya melihat bunga-bunga di taman, dan rumput hijau di halaman kampus itu tampak jelas terawat. Dan saya juga tidak tahu kenapa? Tiba-tiba saya hanya mematung menatap dua pilar besar itu, Gerbang utama Avesena.
‘’Haaahh… Setiap kali saya hendak melewati gerbang ini, pesan kedua orang tua kembali mengiang ditelinga dan pikiran, “Nak, bukan kampus besar yang akan membuatmu besar, dan bukan kampus kecil pula yang membuatmu kecil”.
Heehm. Setelah membenarkan tata letak kemejaku, saya lantas mendekat kemudian musuk ke area kampus itu melewati gerbang yang saya pandangi cukup lama sedari tadi.
Setibanya saya di halaman kampus itu, segerombolan mahasiswa tiba-tiba menarik perhatianku. Karena penasaran, saya pun akhirnya memutuskan menghampiri mereka untuk mencari tahu.
‘’Ada apa ya di sana ribut-ribut?’’ (sambil berjalan mendekat.)
(ORASI DEMO AKTIVIS)
Setelah jarak saya semakin dekat, maka jelaslah apa yang sedang terjadi. Mereka adalah para aktivis mahasiswa, bersuara lantang, menyampaikan aspirasi mahasiswa dan rakyat di negeri ini. Dan kalau saya tidak salah dengar, mereka berbicara tentang keadilan dan kesejahteraan.
‘’Ooh... jadi ini toh yang namanya demo. Ihi, seru juga jadi mahasiswa. Hehe... maklum, namanya juga masih maba.’’
Saya kemudian jadi tahu, bahwa menjadi mahasiswa itu sama seperti menjadi pahlawan, membela kebenaran, dan menegakkan keadilan. Dan saya juga jadi tahu, bahwa demo itu merupakan cara mereka menyampaikan pesan melalui suara ratapan dan gugatan.
Selang beberapa menit, pada saat yang sama, saya melihat segerombolan mahasiswa yang tak begitu jauh dari kerumunan para aktivis yang tengah melakukan aksi berdemo tersebut. Karena penasaran, saya pun kemudian menghampiri, ada yang baca buku, ada yang diskusi, mengerjakan tugas dan lain-lain. Saya pun kemudian menyapa salah seorang dari mereka.
***
‘’Ehem. Permisi, mas, aa.. maksud saya, kak. Saya Ridi, mahasiswa baru.’’
‘’Oh.. maba.’’
‘’Um... anu kak. Saya mau tanya.’’
‘’Iya. ada apa?’’
‘’Kakak, nggak ikut demo, sama mereka?’’
(SI KUTU BUKU TERSENYUM SINIS MENDENGAR PERTANYAAN POLOS SI MABA. IA MENOLEH LALU BERKATA)
‘’Heh, rupanya kamu belum tahu apa-apa tentang mereka.
(MABA MENGGELENG POLOS)
“Dengar.! Mereka itu, cuma kumpulan orang-orang bodoh, alias ‘’otak kosong’’. Mereka itu tidak pernah belajar, boro-boro baca buku. Mereka itu, dalam hidupnya cuma mengenal kata penindasan.’’
“Loh, gitu ya? Tapi bukannya mereka itu berjuang demi kebenaran dan keadilan.?’’
(SI KUTU BUKU MENUTUP BUKUNYA YANG SEBELUMNYA TERBUKA. IA MENARIK NAFAS DALAM-DALAM LALU KEMBALI BERKATA KEPADA SI MABA)
‘’Dek. Emangnya kamu gak bisa lihat?. Tuh!
(MABA MENOLEH SEBENTAR LALU MENOLEH LAGI KE SI KUTU BUKU)
‘’Mereka itu bisanya cuma nuntut pemerintah. Protes sana-lah, protes sini-lah. Ntar pas lulus kuliah, paling mereka lagi yang mati-matian mendaftar jadi PNS.’’
‘’Tapi kan,’’
‘’Sudah. Sudah, sudah, sudah. Kamu buang-buang waktu saya saja. Kalau kamu emang tertarik sama mereka, ya sudah, gabung sana!.’’
‘’Kak. Bukan,’’
‘’Sudah, sudah. Sana pergi! Jangan ganggu saya. Saya mau belajar.’’
***
Dengan adanya pembicaraan ini, rasanya saya tidak akan berani lagi untuk berbicara dengan senior yang satu itu. Saya tidak tahu namanya, kerena setelah saya memperkenalkan diri, saya juga tidak sempat menyakan namanya kecuali bertanya tentang beberapa hal yang ingin saya tanyakan.
Saya pun akhirnya kembali berjalan menghampiri gerombolan aktivis tadi. Dengan sopan, salah seorang dari mereka saya sapa penuh hormat lalu memperkenalkan diri, dan tak lupa pula saya tanyakan namanya, ‘’nama saya Kencol, dek.’’, jawabnya singkat.
Setelah perkenalan singkat itu, saya langsung menanyakan perihal kebenaran yang dikatakan senior tadi padanya. Tetapi, berhubung karena senior saya bernama Kencol itu sibuk berteriak-teriak bersama teman-temannya yang lain, ia tidak sempat meladeni dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan. Saya pun mundur lalu bergegas menuju kelas, sebab sebentar lagi kuliah akan segera di mulai, dan saya tidak ingin terlambat di hari pertama.
Sore itu, setelah jam perkuliahan selesai. Tiba-tiba saya merasa lapar dan ingin memakan sesuatu. Tetapi, berhubung kerena waktu itu saya masih berada di dalam kelas dan tidak ada yang bisa dimakan, saya bergegas keluar menuju salah satu pusat perbelanjaan yang kebetulan bersebelahan dengan kampus.
Barangkali saja, ada yang bisa menambal ruang kosong dalam perut.
Setelah berjalan beberapa menit, sedikit ke barat dari arah gerbang Avesena, saya tiba di pusat perbelanjaan itu. Di sanalah, pada deretan kursi dan meja yang sesaki pengunjung, tampak dua orang yang saya jumpai siang tadi duduk di meja bersebelahan, masing-masing dengan kelompoknya. Di meja sebelah kanan, di isi oleh mereka yang sibuk dengan buku, tugas-tugas kuliah, dan terlihat tidak memperdulikan sekelompok aktivis di sebelahnya. Begitu pula sebaliknya.
Karena rasa penasaran, saya kembali memberanikan diri untuk berbicara dengan mereka.
***
‘’Ehem. Permisi kakak-kakak. Um... bagaimana kalau mejanya disatukan. Biar bisa duduk bareng dan diskusi bareng.’’
(KEDUA KELOMPOK MENOLEH KE ARAH MABA)
‘’Kamu siapa?’’
‘’E, Saya Ridi, kak. Mahasiswa baru.’’
‘’Heh. Maba rupanya.’’
(MABA DIAM KEBINGUNGAN MELIHAT KEDUA KELOMPOK TERSEBUT)
‘’Khem.’’
(KEDUA KELOMPOK CUEK)
‘’Khem, hem.’’
(MASIH CUEK)
‘’A’khem-khem-khem.’’
(MASIH CUEK JUGA)
‘’Kakak-kakak.! Apa salahnya sih ngumpul satu meja terus diskusi bareng. Kok malah pada cuek-cuekan gini.?’’
(KEDUA KELOMPOK MELONGO MENATAP MABA DAN TIDAK BERKATA APA-APA)
‘’Kita pindah lokasi aja. Ayo ges.!’’
(MABA MELONGO)
‘’Yuk, kita ke perpustakaan.!’’
(MABA MASIH MELONGO. DAN KEDUA KELOMPOK PERGI MENJAUH.)
Saya tidak tahu, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Dan kalau saya benar, dikampus Avesena, dua jenis mahasiswa semacam itu, seperti dua klan besar yang tampaknya sedang beradu kekuatan.
(SENIOR MENEPUK PUNDAK MABA)
‘’Ada apa? Kok kelihatan bingung gitu?’’
“Eh, iya kak. Maaf. Saya hanyaa, agak sedikit bingung dengan mereka. Kok gitu ya?’’
‘’Kamu maba ya?’’
‘’Hee. Iya kak. Perkenalkan, saya ridi.’’
‘’Ikram.’’
(MABA DAN SENIOR DIAM SEJENAK)
‘’Aaaggkh. Katanya mahasiswa, tapi kok gitu ya?’’
‘’Sabaar... jangan cepat emosi gitu. Nanti, kamu juga bakalan ngeriti kok.’’ Kata senior. ‘’Menjadi mahasiswa itu gak harus jadi aktivis, dan gak harus kutu buku. Tetapi jadilah berguna bagi siapa pun, peduli pada masyarakat, dan pada teman-temanmu yang lain.’’
Mendengar nasehat senior saya yang satu ini, rasanya seperti mendapat sebuah pencerahan. Jarang-jarang ada mahasiswa bijak seperti batinku.
Dan setelah percakapan singkat itu, saya kembali fokus pada kuliah, dan ingin menjadi mahasiswa yang berguna bagi siapa pun, peduli pada masyarakat, dan kepada siapa pun itu, seperti yang di katakan seniorku, Ikram.
Suatu hari gerimis di depan kampus. Hari itu, saya baru saja tiba di pusat perbelanjaan itu, demo besar-besaran yang dilakukan oleh para aktivis itu kembali terjadi. Kali ini, saya tidak tahu apa motifnya, yang jelas, mahasiswa kutu buku itu, juga ada di sana.
Saya pun mendekat kemudian berbaur di tengah-tengah kerumunan itu, mereka masih berteriak-teriak. Di sana, dan saya juga tidak tahu sejak kapan, polisi-polisi telah datang dan membentuk sebuah barisan, memagari mulut gerbang Avesena dengan perisainya.
Dari tempat saya berdiri, bersebelahan dengan mereka para kutu buku, di sana Ikram juga ikut menyaksikan peristiwa itu. Saya mulai merasa khawatir. Bukan pada mereka yang mulai melemparkan batu ke arah polisi, tetapi pada ibu-ibu tua penjual pecel yang tampak kepayahan memikul barang-barangnya, di sekitar mereka.
Sampai kemudian saya mendengar suara.
DOR...DOR...
(SUARA TEMBAKAN GAS AIR MATA ITU LANTAS SERTA MERTA MEMBUAYARKAN MASA YANG BERDEMO. MEREKA BERLARIAN KE SEGALA ARAH, TAK LUPUT PULA IBU-IBU TUA ITU MERAKA SENGOL HINGGA TERJATUH. IBU ITU DAN DAGANGANNYA DIINJAK-INJAK. IBU ITU TERGELETAK, MENANGIS, TAK SEORANG PUN MAU MEMBANTUNYA, BAHKAN IKRAM YANG PERNAH MENGAJARKAN TENTANG RASA PEDULI. IKRAM MEMBENTAK IBU ITU KETIKA IA JUGA IKUT BERUSAHA LARI DARI KEJARAN POLISI, ‘’MINGGIR!.’’ SAMBIL MENDORONG PUNGGUNG SI IBU TUA YANG BARU SAJA BERHASIL BANGUN KEMUDIAN DUDUK KEBINGUNGAN.)
Melihat kejadian itu, mata saya perih.
Saya tidak tahu kenapa, tiba-tiba saya mulai berjalan berjalan ke arah ibu itu. Melihat ibu tua yang tergeletak bersama dagangannya yang terkoyak, saya menangis, saya jadi benci kepada mahasiswa-mahasiswa itu, dan hujan turun makin lebat.
TAMAT
Pacet, 8 April 2019.
Did you hear there's a 12 word phrase you can communicate to your man... that will trigger deep emotions of love and instinctual appeal to you buried inside his heart?
BalasHapusThat's because hidden in these 12 words is a "secret signal" that triggers a man's impulse to love, look after and look after you with his entire heart...
12 Words Who Trigger A Man's Love Instinct
This impulse is so hardwired into a man's brain that it will drive him to try better than ever before to to be the best lover he can be.
In fact, triggering this dominant impulse is so mandatory to achieving the best possible relationship with your man that the moment you send your man one of the "Secret Signals"...
...You'll soon find him expose his soul and heart for you in such a way he's never experienced before and he will see you as the one and only woman in the universe who has ever truly attracted him.